Makassar, (12 Oktober 2013) “Diperlukan prinsip-prinsip akuntabilitas, profesionalitas, proporsional, keterbukaan ekonomis, efisiensi dan efektifitas dalam mengelola keuangan negara. Kita harus akuntabel,” tegas Anggota BPK RI, Bahrullah Akbar dalam diskusi panel bertema Optimalisasi Pengawasan atas Kekayaan Negara yang Dipisahkan di Hotel Misiliana, Toraja Utara, Sulawesi Selatan, 11 Oktober 2013.
Pada kesempatan tersebut, Bahrullah Akbar juga menjelaskan mengenai keuangan negara dan kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN/BUMD. Kekayaan Negara yang Dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari APBN/APBD untuk dijadikan penyertaan modal negara/daerah pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya. “Jadi bukan dipisahkan dari negara dan bukan memisahkan kepemilikannya tetapi hanya memisahkan catatan akuntansinya. Untuk itu, BUMN/BUMD harus mengoptimalisasikan akuntabilitas pengelolaan kekayaan negara yg dipisahkan,” papar Bahrullah Akbar.
Selain Bahrullah Akbar, Diskusi Panel ini juga menghadirkan pembicara Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, A.P.A. Timo Pangerang, dan Deputi Bidang Investigasi Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Eddy Mulyadi Soepardi. Diskusi panel ini dihadiri oleh Auditor Keuangan Negara, Abdul Latief, Kepala Perwakilan BPK RI Provinsi Sulawesi Selatan, Tri Heriadi, Bupati Tana Toraja, Theofilus Allorerung, para pejabat SKPD, kalangan BUMN/BUMD di wilayah Sulawesi Selatan, serta pejabat di lingkungan Perwakilan BPK RI.
Menurut Anggota BPK, Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Selanjutnya, disebutkan juga bahwa Kekayaan Negara/Kekayaan Daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan Negara/perusahaan daerah.
Deputi Bidang Investigasi BPKP mengatakan, BUMN/BUMD merupakan kekayaan negara/daerah karena seluruh atau paling sedikit 51 persen sahamnya dimiliki oleh pemerintah. Pembentukan BUMN/BUMD pun harus melalui rapat pleno di lembaga wakil rakyat.
Eddy Mulyadi Soepardi menyatakan bahwa saham dalam bentuk modal penyertaan yang diberikan pemerintah kepada BUMN/BUMD melalui APBN/APBD adalah uang rakyat yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan begitu, keuangan BUMN/BUMD harus diawasi penggunaannya sehingga tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi maupun kelompok.