BPK Memberikan Keterangan atas Permohonan Pengujian UU Nomor 17 Tahun 2003 dan UU Nomor 15 Tahun 2006 terhadap UUD Tahun 1945

Jakarta, Rabu (4 September 2013) – Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK) memberikan keterangan dalam Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari ini (4/9) terkait dengan permohonan pengujian terkait lingkup keuangan negara dan pemeriksaan BPK atas kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain, termasuk kekayaan negara yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah, serta obyek pemerikaan BPK terkait lingkup tersebut. Ketentuan yang dimohonkan pengujian tersebut meliputi Pasal 2 huruf g dan huruf I Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) huruf b, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 11 huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Permohonan diajukan oleh Pusat Kajian Masalah Strategis Universitas Indonesia dan Forum Hukum Badan Usaha Milik Negara. Di dalam Sidang hari ini, Wakil Ketua BPK, Hasan Bisri mewakili BPK sebagai pihak terkait, memberikan keterangan mengenai lingkup keuangan negara dan pemeriksaan BPK dimaksud. Hadir pula Anggota BPK, Agus Joko Pramono, dan pejabat pelaksana BPK lainnya.

Terhadap pengujian undang-undang yang dimohonkan oleh Pemohon, BPK memberikan keterangan atas pokok permohonan pemohon sebagai berikut : (1) Konsepsi keuangan negara dalam UUD 1945; (2) Konsepsi tentang kekayaan yang dipisahkan pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN); (3) Tidak ada korelasi antara ketentuan Pasal 2 huruf g dan i Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 dengan persaingan yang tidak berimbang antara BUMN dan perusahaan swasta seperti yang diajukan Pemohon; (4) Berlakunya ketentuan Pasal 2 huruf g dan i Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tidak berkaitan dengan hak konstitusional pemohon untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum; (5) Pasal 2 huruf g dan huruf i Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 telah konsisten dan sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) UUD Tahun 1945;  (6) Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) huruf b, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3) huruf b, dan Pasal 11 huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tidak bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 23 e ayat (1) UUD Tahun 1945; dan (7) BPK membedakan secara tegas antara kerugian BUMN yang timbul karena risiko bisnis dan kerugian BUMN yang timbul karena adanya dugaan tindak pidana.

Dengan demikian, jika mengikuti pendapat pemohon, maka : (1) keuangan daerah, pendapatan dan belanja daerah serta kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan dalam BUMD juga bukan bagian dari keuangan negara; (2) semua dana APBN dalam bentuk Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Dana Bagi Hasil yang sudah disalurkan ke kas daerah dan sudah masuk dalam sistem APBD juga bukan bagian dari keuangan negara; (3) lembaga yang sumber keuangannya bukan dari APBN atau bukan hanya dari APBN seperti Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), juga bukan bagian dari keuangan negara. (4) semua lembaga yang dibentuk dengan Undang-Undang dan dinyatakan bahwa kekayaannya adalah aset negara yang dipisahkan, seperti Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), SKK Migas dan lain-lain dengan sendirinya bukan lagi merupakan bagian dari keuangan negara.

Apabila permohonan pemohon dikabulkan oleh MK, maka dapat diartikan dalil pemohon bahwa keuangan negara hanyalah APBN dibenarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini dikhawatirkan akan berdampak sangat luas yaitu akan adanya permohonan dari masyarakat agar keuangan daerah juga dikeluarkan dari keuangan negara. Pemerintah atau pemerintah daerah akan ramai-ramai membentuk BUMN/BUMD, kemudian BUMN/BUMD itu dijadikan ajang korupsi dan manipulasi dengan berbagai tipu daya, dan semuanya akan dinyatakan sebagai resiko bisnis. Aparat penegak hukum tidak bisa menjerat mereka dengan UU Tindak Pidana Korupsi, karena manipulasi dan penyelewengan yang terjadi pada perusahaan privat adalah tindak pidana umum. Aparat penegak hukum akan sangat kesulitan mengendus adanya penyimpangan dalam perusahaan privat, tanpa ada laporan dari direksi/komisaris. Sementara direksi dan komisaris adalah pelakunya. Semua  penyelewengan dan penyimpangan yang terjadi dalam pengelolaan kekayaan negara di luar APBN akan sulit dideteksi. Sebab, semua lembaga pengawas/pemeriksa baik internal maupun ekternal seperti BPK tidak bisa memeriksa mereka, dan apabila penyelewengan itu diketahui, juga tidak dapat dijerat dengan UU Anti Korupsi.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, menurut BPK tidak terdapat alasan yang tepat untuk menyatakan bahwa ketentuan Pasal 2 huruf g dan huruf i UU Keuangan Negara, dan Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) huruf b, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 11 huruf a UU BPK inkonstitusional apalagi dianggap bertentangan dengan ketentuan UUD 1945.                                                        

BIRO HUMAS DAN LUAR NEGERI

Format PDF