Makassar, Jumat (4 Januari 2013). Anggota IV Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI), Dr. Ali Masykur Musa, M.Si, M.Hum. mengunjungi Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Makassar. Dalam kunjungan Beliau didampingi Kepala Perwakilan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan, Kepala Balai Diklat Makassar, serta beberapa Pejabat eselon di lingkungan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan.
Kunjungan kali ini selain diagendakan untuk melakukan penanaman pohon di lingkungan kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI), juga memberikan kuliah umum. Dalam paparannya, Beliau menjelaskan Posisi BPK dalam penyelamatan keuangan negara saat ini seperti halnya pengoper bola dalam permainan sepak bola. Sehingga keberadaannya tidak banyak dikenal oleh masyarakat luas. Bahkan 90% kasus yang ditangani oleh KPK diperoleh dari LHP BPK RI, contohnya kasus Hambalang dan Century.
Dalam perjalanannya, setelah Amandemen UUD 1945 kewenangan BPK mengalami Perubahan dengan membuat satu Bab tersendiri yaitu pada Bab VIIIA menjadi 3 pasal yang menyebutkan hanya satu-satunya lembaga yang diberi kewenangan untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara yang bebas dan mandiri. Sehingga BPK merupakan satu-satunya external audit di Republik Indonesia.
Selain itu, Posisi BPK menjadi lebih kuat dengan mempunyai hak untuk membantu memproses dari sisi hukum. Sehingga jika dalam pemeriksaan menemukan suatu kesalahan dalam hal pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, maka bisa dilaporkan kepada Aparat Penegak Hukum (APH). Selain itu, kuat dalam hal tindak lanjut. Hasil Pemeriksaan BPK harus ditindaklanjuti oleh auditee dan Aparat Penegak Hukum (APH).
Dalam Ketatanegaraan Negara Indonesia dikenal dengan istilah eksekutif, yudikatif, dan legislatif, sehingga timbul pertanyaan dimana peranan BPK? Dalam teori ketatanegaraan modern yang menyangkut keuangan negara disebutkan adanya satu tambahan, yaitu menjadi eksekutif, yudikatif, legislatif dan auditatif. Dengan demikian, pembuatan policy dilakukan oleh DPR dan Pemerintah, hasilnya dilaksanakan oleh eksekutif, selanjutnya diperiksa oleh BPK.
Di akhir paparannya, Beliau mengharapan agar BPK bisa membuat sistem agar pihak auditee tidak sempat dan tidak berani berbuat kesalahan. Sehingga BPK bukan lagi suatu lembaga yang hanya mencari kesalahan auditee, tetapi mampu memberikan solusi atas masalah yang dihadapi oleh auditee.