Pembelian 7% Saham Divestasi PT NNT Perlu Persetujuan DPR

Jakarta, Selasa (24 April 2012) – Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) menghadiri Sidang    ke-7 di Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari ini (24/4), dalam rangka Permohonan Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) antara Presiden Republik Indonesia (Pemohon), terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) (Termohon I) dan BPK RI (Termohon II) tentang Pelaksanaan Kekuasaan Pemerintah Menurut UUD 1945. Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan ahli/saksi dari Pemohon,Termohon I, dan Termohon II.

Sidang di MK diajukan oleh Pemohon yang berpendapat bahwa DPR dan BPK telah mengambil, mengurangi, menghalangi, mengabaikan, dan/atau merugikan kewenangan konstitusional Pemohon. Pemohon berpendapat bahwa pembelian 7% saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) Tahun 2010 oleh Pusat Investasi Pemerintah (PIP) untuk dan atas nama Pemerintah RI dilakukan dalam keadaan normal dan bukan dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional sehingga tidak perlu persetujuan DPR dan tidak tunduk pada ketentuan Pasal 24 ayat (7) UU Nomor 17 Tahun 2003.

Berdasarkan permintaan DPR melalui surat Nomor: PW.01/5188/DPR RI/VI/2011 tanggal 21 Juni 2011 perihal Penyampaian Permintaan Komisi XI tentang Audit BPK dengan Tujuan Tertentu Selama 1 (satu) Bulan, BPK telah melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu atas proses pembelian 7% saham PT NNT tahun 2010 oleh PIP untuk dan atas nama pemerintah RI, sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 15 Tahun 2004. Sedangkan pelaksanaan pemeriksaan BPK dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan Pasal 4 UU Nomor 15 Tahun 2004, Pasal 6 UU Nomor 15 Tahun 2004, Pasal 16 ayat (3) UU Nomor 15 Tahun 2004 dan Pasal 9 ayat (1) huruf a UU Nomor 15 Tahun 2006. Hasil pelaksanaan pemeriksaan tersebut, BPK memberikan pendapat bahwa pembelian 7% saham divestasi PT NNT (perusahaan tertutup) tahun 2010 merupakan kegiatan pemisahan keuangan negara dari APBN ke swasta yang harus mendapat persetujuan DPR terlebih dahulu.

Pemeriksaan BPK atas proses pembelian 7% saham PT NNT (perusahaan tertutup) tahun 2010 oleh PIP untuk dan atas nama Pemerintah RI dilaksanakan secara independen dan profesional sesuai peraturan perundang-undangan dengan berpedoman pada Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) dan Metodologi Pemeriksaan. Sesuai dengan Metodologi Pemeriksaan, BPK menelaah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan proses pembelian saham PT NNT (perusahaan tertutup). Selanjutnya BPK membandingkan/menguji pelaksanaan pembelian saham PT NNT (perusahaan tertutup) tersebut dengan hasil penelaahan atas peraturan perundang-undangan.

Dari hasil penelaahan terhadap peraturan perundang-undangan, diketahui bahwa ketentuan Pasal 24 UU Nomor 17 Tahun 2003 antara lain mengatur hubungan antara Pemerintah dengan perusahaan negara, daerah, dan swasta. Pasal tersebut pada prinsipnya mengatur bahwa pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/penyertaan modal pada perusahaan negara dan daerah setelah terlebih dahulu memperoleh persetujuan DPR. Sementara pada swasta, pemberian pinjaman/penyertaan modal pada perusahaan swasta hanya dapat dilakukan dalam keadaan tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional, setelah memperoleh persetujuan DPR. Dilihat dari hubungan tersebut, maka penyertaan modal pada perusahaan negara/daerah baik dalam keadaan normal maupun dalam keadaan tertentu harus memperoleh persetujuan DPR/DPRD.

Secara prinsip, Pemerintah tidak memiliki kepentingan secara langsung terhadap perusahaan swasta. Oleh sebab itu, Pemerintah tidak berkewajiban memberikan pinjaman/menyertakan modal pada perusahaan-perusahaan swasta. Namun demikian bila ternyata kondisi yang terjadi akan mengancam perekonomian nasional, Pemerintah tentunya berkepentingan melakukan penyelamatan perekonomian tersebut dengan cara memberikan pinjaman ataupun menyertakan modal kepada perusahaan-perusahaan swasta dimaksud. Keputusan seperti ini bukanlah semata-mata merupakan keputusan eksekutif, akan tetapi harus melibatkan seluruh rakyat melalui persetujuan para wakilnya di lembaga legislatif.

Menurut keterangan ahli, Prof. Dr. Bagir Manan menyatakan bahwa wewenang BPK memberi pendapat sebagaimana diatur UU Nomor 15 Tahun 2006, Pasal 11 huruf a adalah wewenang BPK yang tidak dibagi dengan Presiden. Karena semata-mata sebagai wewenang eksklusif BPK yang tidak dibagi dengan pihak lain, termasuk dengan Presiden (Pemerintah), maka Presiden (Pemerintah) tidak mempunyai wewenang memberikan pendapat sebagaimana dimaksud  UU Nomor 15 Tahun 2006, Pasal 11 huruf a. Dengan demikian tidak mungkin ada sengketa wewenang antara BPK dengan Presiden (Pemerintah). BPK dapat menyampaikan pendapat antara lain kepada DPR sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 15 Tahun 2006, Pasal 11 huruf a. BPK dapat memberi segala macam pendapat, sepanjang menyangkut pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara (Penjelasan UU Nomor 15 Tahun 2006 Pasal 11 huruf a).

Berdasarkan pendapat para ahli dari Termohon II (Prof. Dr. Frans Limahelu, SH, Prof. Dr. Muchsan, SH, Drs. Siswo Sujanto, DEA, Prof. Dr. Otto Cornelis Kaligis, Dr. Revisond Baswir, Dr. Ni’matul Huda, Dr. Irmanputra Sidin, dan  Prof. Dr. Bagir Manan, SH) disimpulkan bahwa : (1) pembelian 7 persen saham PT NNT oleh PIP tidak dapat digolongkan lain kecuali sebagai investasi langsung atau penyertaan modal, sehingga harus dibahas dan disetujui terlebih dahulu oleh DPR sebelum dilaksanakan; (2) Pemeriksaan BPK terhadap proses pembelian 7% saham divestasi PT NNT tahun 2010 oleh Pusat Investasi Pemerintah atas permintaan Dewan Perwakilan Rakyat merupakan pelaksanaan tugas dan wewenang BPK sebagai bentuk dari kewajiban konstitusinalnya sehingga tidak ada unsur melampaui wewenang, maupun sebagai tindakan sewenang-wenang atau penyalahgunaan wewenang.

BIRO HUMAS DAN LUAR NEGERI

Format PDF